HARI RAYA KEAGAMAAN
Siwaratri
Sabtu (24/1) ini, umat Hindu kembali merayakan Siwaratri. Hari suci yang datang setahun sekali itu dirayakan tepat pada hari ke-14 paruh gelap, bulan ketujuh (panglong ping 14 sasih kapitu). Lalu, apa sesungguhnya hakikat Siwaratri?
PENGAMAT agama Gusti Ketut Widana mengatakan, secara tatwa sesungguhnya Siwaratri merupakan malam perenungan dosa, (bukan peleburan dosa), dengan tujuan tercapainya kesadaran diri. ''Secara tatwa, sesungguhnya Siwaratri itu simbolisasi dan aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual guna tercapainya 'penyatuan' Siwa, yaitu bersatunya atman dengan paramaatman atau Tuhan penguasa jagat raya itu sendiri,'' katanya, Jumat (23/1) kemarin.
Sebagai malam perenungan, umat mestinya melakukan evaluasi atau introspeksi diri atas perbuatan-perbuatan selama ini. Pada malam pemujaan Siwa ini umat mohon diberi tuntunan agar keluar dari perbuatan dosa.
Sementara dalam konteks kekinian, tokoh Lubdaka dalam teks cerita Mpu Tanakung dinilai telah mengalami ''reinkarnasi'' menjadi Lubdaka-Lubdaka kontemporer. Misalnya, bereinkarnasi menjadi orang-orang yang ''memburu'' danau, gunung, loloan, laut dan hutan, dengan tujuan mengeruk dan menumpuk keuntungan.
Lanjut Widana, perlakuan Lubdaka kontemporer melakukan eksploitasi terhadap kawasan yang disucikan umat Hindu itu, sangatlah kontradiktif dengan praktik yadnya yang dilakukan umat Hindu, seperti wana kerthi, samudera kerthi, danu kerthi dan giri kerthi. Yadnya itu digelar dengan tujuan mencapai keharmonisan alam.
Pada saat Siwaratri inilah para Lubdaka kontemporer mesti melakukan introspeksi. Mudah-mudahan setelah itu mereka tidak berambisi mencederai danau dan menambah dosa.
Dosen IHDN Denpasar Made Surada mengatakan hal yang sama. Malam Siwaratri merupakan momen introspeksi diri, guna menyadari perbuatan-perbuatan dosa atau kekeliruan selama ini.
Dikatakannya, teks-teks atau purana yang menjadi landasan perayaan Siwaratri cukup beragam seperti Padma Purana, Siwa Purana, Siwaratrikalpa dan sebagainya. Lewat kekawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung, umat tampaknya lebih mudah memaknai esensi Siwaratri.
Waktu pelaksanaan Siwaratri pun dipilih yakni waktu yang paling tepat -- panglong ping 14 sasih kapitu. Saat itulah umat melakukan brata Siwaratri seperti upawasa (puasa), monobrata (diam) dan jagra (melek atau tak tidur semalam).
Surada menambahkan, umat manusia dalam perjalanan hidupnya tentu banyak memiliki kekurangan. Karena itu hari suci Siwaratri ini merupakan momen yang tepat untuk melakukan perenungan atau penyadaran diri. ''Apa yang telah dilakukan selama ini. Dari introspeksi itu diharapkan terjadi peningkatan diri atau pembenahan-pembenahan untuk mencapai suatu keharmonisan,'' ujarnya.
Sementara dalam buku ''Memahami Makna Siwaratri'' karangan IBG Agastia disebutkan, ada sejumlah sumber Sansekerta memuat uraian tentang Siwaratri yaitu Siwa Purana, Skandapurana, Garuda Purana, dan Padma Purana. Sementara sumber Jawa Kuno juga memuat tentang Siwararti yakni kekawin Siwaratrikalpa -- yang dalam kehidupan masyarakat lebih dikenal dengan sebutan kakawin Lubdaka karya Mpu Tanakung. Karya sastra kekawin ini ternyata bersumber dari Padma Purana.
Melalui kekawin itu, Mpu Tanakung menceritakan kisah seorang papa, si Lubdaka, yang karena melaksanakan brata Siwaratri pada malam Siwa yang suci, akhirnya mendapat anugerah Batara Siwa. Melalui kekawin itu Mpu Tanakung sesungguhnya telah menguraikan aspek-aspek filsafat agama, tata susila agama dan upacara agama menurut ajaran Siwa yang dapat dipakai pedoman dalam kehidupan.
Siwaratri mengandung ajaran penyadaran diri manusia tentang dari mana semua makhluk ini berasal, semua makhluk hidup berkembang dan kemudian ke mana mereka lebur. Selanjutnya dengan akal sehat, sebagaimana disiratkan dalam kitab suci, menemukan dirinya sendiri untuk menjawab apakah realitas tertinggi yang menjadi tujuan dan asal-muasal itu ada. Siwaratri merupakan malam yang penuh kesucian (nirmala). Umat manusia memfokuskan seluruh pikirannya kepada Siwa, penguasa jagat raya. Pelaksanaan brata Siwaratri dapat dikatakan sebagai jalan pendakian menuju pembebasan.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Sabtu (24/1) ini, umat Hindu kembali merayakan Siwaratri. Hari suci yang datang setahun sekali itu dirayakan tepat pada hari ke-14 paruh gelap, bulan ketujuh (panglong ping 14 sasih kapitu). Lalu, apa sesungguhnya hakikat Siwaratri?
PENGAMAT agama Gusti Ketut Widana mengatakan, secara tatwa sesungguhnya Siwaratri merupakan malam perenungan dosa, (bukan peleburan dosa), dengan tujuan tercapainya kesadaran diri. ''Secara tatwa, sesungguhnya Siwaratri itu simbolisasi dan aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual guna tercapainya 'penyatuan' Siwa, yaitu bersatunya atman dengan paramaatman atau Tuhan penguasa jagat raya itu sendiri,'' katanya, Jumat (23/1) kemarin.
Sebagai malam perenungan, umat mestinya melakukan evaluasi atau introspeksi diri atas perbuatan-perbuatan selama ini. Pada malam pemujaan Siwa ini umat mohon diberi tuntunan agar keluar dari perbuatan dosa.
Sementara dalam konteks kekinian, tokoh Lubdaka dalam teks cerita Mpu Tanakung dinilai telah mengalami ''reinkarnasi'' menjadi Lubdaka-Lubdaka kontemporer. Misalnya, bereinkarnasi menjadi orang-orang yang ''memburu'' danau, gunung, loloan, laut dan hutan, dengan tujuan mengeruk dan menumpuk keuntungan.
Lanjut Widana, perlakuan Lubdaka kontemporer melakukan eksploitasi terhadap kawasan yang disucikan umat Hindu itu, sangatlah kontradiktif dengan praktik yadnya yang dilakukan umat Hindu, seperti wana kerthi, samudera kerthi, danu kerthi dan giri kerthi. Yadnya itu digelar dengan tujuan mencapai keharmonisan alam.
Pada saat Siwaratri inilah para Lubdaka kontemporer mesti melakukan introspeksi. Mudah-mudahan setelah itu mereka tidak berambisi mencederai danau dan menambah dosa.
Dosen IHDN Denpasar Made Surada mengatakan hal yang sama. Malam Siwaratri merupakan momen introspeksi diri, guna menyadari perbuatan-perbuatan dosa atau kekeliruan selama ini.
Dikatakannya, teks-teks atau purana yang menjadi landasan perayaan Siwaratri cukup beragam seperti Padma Purana, Siwa Purana, Siwaratrikalpa dan sebagainya. Lewat kekawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung, umat tampaknya lebih mudah memaknai esensi Siwaratri.
Waktu pelaksanaan Siwaratri pun dipilih yakni waktu yang paling tepat -- panglong ping 14 sasih kapitu. Saat itulah umat melakukan brata Siwaratri seperti upawasa (puasa), monobrata (diam) dan jagra (melek atau tak tidur semalam).
Surada menambahkan, umat manusia dalam perjalanan hidupnya tentu banyak memiliki kekurangan. Karena itu hari suci Siwaratri ini merupakan momen yang tepat untuk melakukan perenungan atau penyadaran diri. ''Apa yang telah dilakukan selama ini. Dari introspeksi itu diharapkan terjadi peningkatan diri atau pembenahan-pembenahan untuk mencapai suatu keharmonisan,'' ujarnya.
Sementara dalam buku ''Memahami Makna Siwaratri'' karangan IBG Agastia disebutkan, ada sejumlah sumber Sansekerta memuat uraian tentang Siwaratri yaitu Siwa Purana, Skandapurana, Garuda Purana, dan Padma Purana. Sementara sumber Jawa Kuno juga memuat tentang Siwararti yakni kekawin Siwaratrikalpa -- yang dalam kehidupan masyarakat lebih dikenal dengan sebutan kakawin Lubdaka karya Mpu Tanakung. Karya sastra kekawin ini ternyata bersumber dari Padma Purana.
Melalui kekawin itu, Mpu Tanakung menceritakan kisah seorang papa, si Lubdaka, yang karena melaksanakan brata Siwaratri pada malam Siwa yang suci, akhirnya mendapat anugerah Batara Siwa. Melalui kekawin itu Mpu Tanakung sesungguhnya telah menguraikan aspek-aspek filsafat agama, tata susila agama dan upacara agama menurut ajaran Siwa yang dapat dipakai pedoman dalam kehidupan.
Siwaratri mengandung ajaran penyadaran diri manusia tentang dari mana semua makhluk ini berasal, semua makhluk hidup berkembang dan kemudian ke mana mereka lebur. Selanjutnya dengan akal sehat, sebagaimana disiratkan dalam kitab suci, menemukan dirinya sendiri untuk menjawab apakah realitas tertinggi yang menjadi tujuan dan asal-muasal itu ada. Siwaratri merupakan malam yang penuh kesucian (nirmala). Umat manusia memfokuskan seluruh pikirannya kepada Siwa, penguasa jagat raya. Pelaksanaan brata Siwaratri dapat dikatakan sebagai jalan pendakian menuju pembebasan.
Hari Raya Saraswati bagi umat Hindu di Indonesia dirayakan setiap 210 hari sekali menurut kalender Jawa Bali, yakni pada setiap Saniscara Umanis Watugunung. Arti Kata Sarasvati Kata Sarasvati dalam bahasa Sanskerta dari urat kata Sr yang artinya mengalir. Sarasvati berarti aliran air yang melimpah menuju danau atau kolam. Sarasvati dalam Veda Di dalam RgVeda, Sarasvati dipuji dan dipuja lebih dari delapan puluh re atau mantra pujaan. Ia juga sering dihubungkan dengan pemujaan terhadap deva Visvedevah disamping juga dipuja bersamaan dengan Sarasvati. Sarasvati dalam Susastra Hindu di Indonesia Tentang Sarasvati di Indonesia telah dikaji oleh Dr. C. Hooykaas dalam bukunya Agama Tirtha, Five Studies in Hindu-Balinese Religion (1964) dan menggunakan acuan atau sumber kajian adalah tiga jenis naskah, yaitu: Stuti, Tutur dan Kakavin yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Sarasvati di Bali dipuja dengan perantaraan stuti, stava atau stotra seperti halnya dengan menggunakan sarana banten (persembahan). Apabila seorangpemangku melakukan pemujaan pada hari Sarasvati, ia mengucapkan dua bait mantra berikut : Om Sarasvati namas tubhyam, varade kama rupini, siddhirambha karisyami, siddhir bhavantu mesada. Pranamya sarya-devana ca, Paramatmanam eva ca, rupa siddhi prayukta ya,, Sarasvati (n) namamy aham. (Sarasvati 1-2.) Hanya Engkaulah yang menganugrahkan pengetahuan yang memberikan kebahagiaan. Engkau pula yang penuh keutamaan dan Engkaulah yang menjadikan segala yang ada. Engkau sesungguhnya permata yang sangat mulia, Engkau keutamaan dari setiap istri yang mulia, Demikian pula tingkah laku seorang anak yang sangat mulia, karena kemuliaan-Mu pula semua yang mulia menyatu. Om Sarasvati namotubhyam varade kama rupini, siddhirambha karisyami siddhir bhavantu mesada (Sarasvatistava I) Om Hyang Vidhi dalam wujud-MU sebagai dewi Sarasvati, pemberi berkah, wujud kasih bagai seorang ibu sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan selalu berhasil atas karuniaMu Pendahuluan Berbagai usaha atau jalan yang terbentang bagi Umat Hindu untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula Tuhan Yang Maha Esa yang sesungguhnya tidak tergambarkan dalam alam pikiran manusia, untuk kepentingan Bhakti, Tuhan Yang Maha Esa digambarkan atau diwujudkan dalam alam pikiran dan materi sebagai Tuhan Yang Berpribadi (personal God). Berbagai aspek kekuasaan dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa dipuja dan diagungkan serta dimohon karunia-Nya untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Makna Penggambaran Dewi Saraswati Tubuh dan busana putih bersih dan berkilauan. Didalam Brahmavaivarta Purana dinyatakan bahwa warna putih merupakan simbolis dari salah satu Tri Guna, yaitu Sattva-gunatmika dalam kapasitasnya sebagai salah satu dari lima jenis Prakrti. Ilmu pengetahuan diidentikan dengan Sattvam-jnanam. Caturbhuja : memiliki 4 tangan, memegang vina (sejenis gitar), pustaka (kitab suci dan sastra), aksamala (tasbih) dan kumbhaja (bunga teratai). Atribut ini melambangkan : vina (di tangan kanan depan) melambangkan Rta (hukum alam) dan saat alam tercipta muncul nadamelodi (nada - brahman) berupa Om. Suara Om adalah suara musik alam semesta atau musik angkasa. Aksamala (di tangan kanan belakang) melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dan tanpa keduanya ini manusaia tidak memiliki arti. kainnya yang putih menunjukkanbahwa ilmu itu selalu putih, emngingatkan kita terhadap nilai ilmu yang murni dan tidak tercela (Shakunthala, 1989: 38). Vahana. sarasvati duduk diatas bunga teratai dengan kendaraan angsa atau merak. Angsa adalah sejenis unggas yang sangat cerdas dan dikatakan memiliki sifat kedewataan dan spiritual. Angsa yang gemulai mengingatkan kita terhadap kemampuannya membedakan sekam dengan biji-bijian dari kebenaran ilmu pengetahuan, seperti angsa mampu membedakan antara susu dengan air sebelum meminum yang pertama. Kendaraan yang lain adalh seekor burung merak yang melambangkan kebijaksanaan (Shakunthala, 1989 : 38).. Penutup Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka Sarasvati di dalam Veda pada mulanya adalah dewi Sungai yang diyakini amat suci. Dalam perkembangan selanjutnya, Sarasvati adalah dewi Ucap, dewi yang memberikan inspirasi dan kahirnya ia dipuja sebagai dewi ilmu pengetahuan. Perwujudan Dewi Saraswati sebagai dewi yang cantik bertangan empat dengan berbagai atribut yang dipegangnya mengandung makna simbolis bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber ilmu-pengetahuan, sumber wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Catur Veda dan lain-lain menunjukkan bahwa simbolis tersebut memiliki nilai yang sangat tinggi dengan latar belakang filosofis yang sangat dalam. Demikian semoga Ida Sang Hyang Widhi senantiasa memberikan waranugrahanya berupa inspirasi, kejernihan pikiran serta kerahayuan yang didambakan oleh setiap orang. Om Sarve sukhino bhavantu, sarve santu niramayah, sarve bhadrani pasyantu, ma kascid duhkh bhag bhavet. Ya Tuhan Yang maha Esa, anugrahkanlah semoga semuanya memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Semoga semuanya memperoleh kedamaian. Semoga semuanya memperoleh keutamaan dan semuanya terbebas dari segala duka dan penderitaan. Om Santih, Santih, Santih, Om. |
Hari Raya Pagerwesi Setelah umat merayakan Hari Saraswati, hari ini Rabu Kliwon (7/1) Wuku Sinta umat Hindu melanjutkan dengan perayaan Pagerwesi. Apa sesungguhnya hakikat Pagerwesi? GURU besar Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Prof. Dr. TB Gunadha, M.Si. mengatakan dalam perayaan Pagerwesi ini umat memuja Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan) dalam manifestasinya sebagai Siwa Mahaguru atau Hyang Paramestiguru - sumber dan segala guru. Lewat bimbingan gurulah kita dapat menguasai pengetahuan dengan baik. Setelah umat mendapatkan kaweruhan (ilmu pengetahuan), pengetahuan itulah dijadikan benteng yang kuat, memagari diri menghadapi tantangan hidup atau bekal untuk mencapai tujuan hidup kesejahteraan dan ketenangan batin. Dalam perayaan Pagerwesi inilah umat sejatinya diajarkan tentang kewaspadaan menghadapi berbagai tantangan. Dengan demikian kita penuh kesadaran. “Saat kita menghadapi berbagai tantangan, kita sejatinya diajarkan menarik diri ke dalam berenung. Dengan demilcian kita dapat dengan jelas melihat persoalan sehingga mampu mencari solusi pemecahannya atau memperoleh jalan yang terang tetap berada di jalur kebenaran (satya),” ujarnya. Hal senada dikatakari guru besar Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Prof. Drs. Ketut Subagiasta, M.Si., D.Phil. Ketika Ida Sang Hyang Widi (Sang Hyang Aji Saraswati) menurunkan ilmu pengetahuan saat Saraswati, kemudian dalam mempelajarinya umat memerlukan guru. Dalam hal ini peran guru sangatlah mulia. Saat Pagerwesi-lah umat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai mahaguru - Hyang Paramestiguru. “Setelah umat mendapat ilmu pengetahuan, teori pengetahuan itu perlu dipraktikkan atau diimplementasikan. Dalam mengimplementasikan itu perlu guru pembimbing. Ilmu pengetahuan (jnana) yang diperoleh itu selanjutnya dimaknai atau dipraktikkan (wijnana) dalam menjalani kehidupan yang penuh rintangan,” ujarnya sembari menegaskan Pagerwesi itu mengandung makna bahwa pengetahuan yang telah dikuasai itu hendaknya dijadikan pagar yang kuat dalam menjalani kehidupan - bentengi diri dengan ilmu pengetahuan. Dosen UNHI Drs. TB Suatama, M.Si. mengatakan hal yang sama. Dalam konteks mempelajari ilmu pengetahuan, kehadiran guru pengajian sangatlah penting. Berkat bimbingan gurulah umat dapat menguasai pengetahuan dengan baik dan benar. Guru, lanjut TB Suatama, mengandung dua hal yakni gunatika dan rupadita. Gunatika artinya seorang guru harus mampu melewati triguna - satyam, rajas dan tamas. Sedangkan rupadita artinya sudah tidak terikat lagi dengan hal-hal yang bernuansa duniawi. Itu sebabnya, guru itu sangat dihormati dan dipatuhi. Guru hanya berkepentingan agar sisya (siswa)nya mencapai kecerdasan dan kematangan. Ilmu pengetahuan itulah dipakai bekal untuk mencapai kemajuan dalam menjalani kehidupan - yakni mendapatkan makanan yang baik (wareg), memperoleh sandang (wastra), memiliki rumah yang sehat atau papan (wisma), tetap dalam kondisi sehat (waras), menghibur diri atau refresing (wisata) dan menjaga nama baik (wasita).
|
Hari Raya Nyepi dan Tahun Baru Saka |
Nyepi Hari Raya Nyepi dan Tahun Saka Weda Sruti merupakan sumber dari segala sumber ajaran Hindu. Weda Sruti berasal dari Hyang Maha Suci/Tuhan Yang Maha Esa (divine origin). Mantra Weda Sruti tidak dapat dipelajari oleh sembarang orang. Karena mantra-mantranya ada yang bersifat pratyaksa (yang membahas obyek yang dapat diindra langsung oleh manusia), ada yang bersifat adhyatmika, membahas aspek kejiwaan yang suci (atma) dan ada yang bersifat paroksa, yaitu yang membahas aspek yang tidak dapat diketahui setelah disabdakan maknanya oleh Tuhan. Tingkatan isi Weda yang demikian itu menyebabkan maharsi Hindu yang telah samyajnanam membuat buku-buku untuk menyebarkan isi Weda Sruti agar mudah dicerna dan dipahami oleh setiap orang yang hendak mempelajarinya. Kitab yang merupakan penjabaran Weda Sruti ini adalah Upaveda, Vedangga, Itihasa dan Purana. Semua kitab ini tergolong tafsir (human origin). Salah satu unsur dari kelompok kitab Vedangga adalah Jyotesha. Kitab ini disusun kira-kira 12.000 tahun sebelum masehi yang merupakan periode modern Astronomi Hindu (India). Dalam periode ini dibahas dalam lima kitab yang lebih sistimatis dan ilmiah yang disebut kitab Panca Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta dan Romaka Siddhanta. Dari Penjelasan ringkas ini kita mendapat gambaran bahwa astronomi Hindu sudah dikenal dalam kurun waktu yang cukup tua bahkan berkembang serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur. Prof. Flunkett dalam bukunya Ancient Calenders and Constellations (1903) menulis bahwa Rsi Garga memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani tentang astronomi di abad pertama sebelum masehi. Lahirnya Tahun Saka di India jelas merupakan perwujudan dari sistem astronomi Hindu tersebut di atas. Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah yang menutup permusuhan antar suku bangsa di India. Sebelum lahirnya Tahun Saka, suku bangsa di India dilanda permusuhan yang berkepanjangan. Adapun suku-suku bangsa tersebut antara lain: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka. Suku-suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta menundukkan suku-suku yang lain. Suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan keadaan permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Karena perjuangannya itu cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka dan kebudayaannya benar-benar memasyarakat. Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan di India. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara). Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Semenjak itu, bangkitlah toleransi antar suku bangsa di India untuk bersatu padu membangun masyarakat sejahtera (Dharma Siddhi Yatra). Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu. Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di Indonesia Sistem penanggalan Saka pun telah berkembang pula di Indonesia. Itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi. Demikianlah awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia. Pada zaman Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun Majapahit, berkumpu seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa, Budha dan Sri Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat. Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI - XCII. Di Bali, perayaan Tahun Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala. Hari Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa hari sebelum Nyepi, diadakan upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga. Upacara Tawur Kesanga ini dilangsungkan pada tilem kesanga. Keesokan harinya, pada tanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan brata penyepian. Setelah Nyepi, dilangsungkan Ngembak Geni dan kemudian umat melaksanakan Dharma Santi. Tujuan Hidup Muwujudkan kesejahteraan lahir batin atau jagadhita dan moksha merupakan tujuan agama Hindu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, umat Hindu wajib mewujudkan 4 tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha atau Catur Warga yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup ini dijelaskan dalam Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135. Menurut agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yajña. Tuhan (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu berhubungan berdasarkan yajña. Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III, 10: manusia harus beryajña kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryajña kepada sesama. Tawur kesanga menurut petunjuk lontar Sang-hyang Aji Swamandala adalah termasuk upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Dalam Sarasamuscaya 135 (terjemahan Nyoman Kajeng) disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Bhutahita). "Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani." Artinya: Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk. "Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng dharma, artha kama moksha." Artinya: Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan moksha. Di dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yajña dan di antaranya dijelaskan pula tujuan Butha Yajña sbb: "Butha Yajña namanya tawur dan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan." Dalam Bhagavadgita III, 14 disebutkan, karena makanan, makhluk hidup menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yajña) turunlah hujan, dan yajña lahir karena kerja. Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-tumbuhan, manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dengan demikian jelaslah, tujuan Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup, yaitu Panca Maha Butha dan sarwaprani. Upacara Butha Yajña pada tilem kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu secara ritual untuk senantiasa melestarikan alam lingkungan. Dalam lontar Eka Pratama dan Usana Bali disebutkan, Brahma berputra tiga orang yaitu: Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bujangga. Ketiga putra beliau ini diberi tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah upacara Melasti atau Melis. Tujuan upacara Melasti dijelaskan dalam lontar Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut: Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana. Artinya: Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam. Lontar Sundarigama menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah: Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara. Artinya: mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengah-tengah samudra. Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra kehi-dupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan dunia. Pada tanggal satu sasih kadasa, dilaksanakanlah brata penye-pian. Brata penyepian ini dijelaskan dalam lontar Sundarigama sebagai berikut: "....enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan." Artinya: "....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat agama melak-sanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian." Jadi, brata penyepian dilakukan dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya, tidak bekerja terutama bagi umat kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang sudah tinggi rohaninya, melakukan yoga tapa dan samadhi. Parisada Hindu Dharma Indonesia telah mengembangkan menjadi catur brata penyepian untuk umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan umat Hindu pada umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan latihan yang menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan tapa, yoga, samadhi. Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama dan moksha. Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan. Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern seka-rang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu. Pelaksanaan Upacara Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini: "....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata." Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan. Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya. Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berda-sarkan wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi dilaku-kan upacara tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata. Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar. Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah. Upacara Bhuta Yajña di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 - 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini meru-pakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat. Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala. Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu. Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan. Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu: -Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa). - Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria. - Amati lelungan (tidak bepergian). - Amati lelanguan (tidak mencari hiburan). Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu. Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana. Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan. |
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
3 Maret 2022 pukul 20.45
Gambling - Casino - DrmCD
Gambling is a 경상북도 출장샵 gambling activity, not a hobby. It is not a hobby. 경기도 출장마사지 It is not a 전라남도 출장안마 hobby. It is not a hobby. 문경 출장샵 It is not a 양산 출장안마 hobby.